Paper Perbandingan Kebijakan Kependudukan

 

PAPER

DOSEN : Dra. Hestiwaty Basir, M.Si

 


 

OLEH:

 

NAMA                        : MUH KHUWAILID HAKIM

NPP                             : 30. 1197

KELAS                       : I-6

NO ABSEN                : 20

 

 

 

 

PROGRAM STUDI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATN SIPIL

FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

Perbandingan Kebijakan Kependudukan

Pendahuluan

            Kebijakan kependudukan merupakan suatu gejala yang relatif masih mudah. Berbagai kebijakan bidang ekonomi maupun social merupakan alternative dalam peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk. Kebijakan tersebut meliputi bidang antara lain : Penyediaan lapangan kerja, kesemptan pendidikan, meningkatakan kesehatan serta usaha-usaha menambah kesejahteraan penduduk lainnya. Berbagai hal tersebut mempengaruhi penduduk baik mengenai jumlah, komposisi dan distribusi atau persebaran pertumbuhan serta cici-ciri penduduk lainnya.

Kebijakan penduduk berkaitan erat dengan dinamika kependudukan yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas, dan migrasi.
Kebijakan penduduk menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diberi pengertian sebagai berikut : “…..langkah-langkah dan program-program yang membantu tercapainya tujuan-tujuan ekonomi, social, demografis dan tujuan-tujuan umum yang lainnya dengan jalan mempengaruhi variable-veriabel demografi yang utama, yaitu besar dan pertumbuhan penduduk serta perubahan dan cirri-ciri demografinya…..”

Kebijakan penduduk dapat mempengaruhi fertilitas baik untuk menaikan maupun menurunkan angka kelahiran. Pada waktu ini kebijakan mengenai fertilitas hanya di hubungkan dengan penurunan fertilitas melalui Keluarga Berencana. Bahkan banyak orang beranggapan bahwa kebijakan penduduk identik dengan Keluarga Berencana.

Kebijakan tentang mortalitas biasanya langsung dihubungkan dengan kesehatan, bahkan sering dihubungkan dengan klinik, rumah sakit, dan dokter. Mortalitas mempunyai hubungan yang erat dengan morbiditas ( tentang sakit ). Sehingga besar orang yang mati disebabkan karena sakit, dan hanya sedikit yang meninggal karena kecelakan. Sebagian sangat kecil mati karena bunuh diri. Karena itu mortalitas dan morbiditas harus di pahami sekaligus.

Masalah yang dapat mempengaruhi fertilitas ialah nuptialitas, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan. Umur pekawinan pertama, gampang atau sukarnya perceraian serta perkawinan ulang dapat dihubungkan dengan kebijakan kependudukan juga. Sedangkan kebijakan yang mempengaruhi variable kependudukan secara langsung dalam hal ini antara lain : Pelayanan kontrasepsi yang langsung mempengaruhi besarnya penurunan jumlah penduduk akibat kelahiran ( natalitas ). Kebijakan kependudukan yang bersifat tidak langsung misalnya dengan pencabutan subsidi pada keluarga yang mempunyai anak lebih dari 2, sehingga anak ketiga ( 3 ) atau dan seterusnya tidak akan mendapatkan subsidi.
Kebijakan kependudukan Indonesia telah di atur dalam GBHN yang meliputi: pertama, Bidang-bidang pendendalian kelahiran, kedua Penurunan tingkat kematian terutama kematian ana-anak, ketiga Perpanjangan harapan kerja, keempat Penybaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang, kelima Pola urbanisasi yang lebih berimbang dan merata, dan keenam Perkembangan dan penyebaran angkatan kerja.

Ada banyak perubahan yang terjadi terkait kebijakan pendudukan di Indonesia, hal tersebut sudah diikuti sejak pemulaan abad ini oleh pemerintah Hindia Belanda. Kolonisasi kebeberapa daerah luar jawa dengan memindahkan penduduk dari jawa adalah usah reditribusi penduduk. Usaha itu merupakan kebijaksanaan kependudukan. Selanjutnya setelah kemerdekaan, pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak kebijakan kependudukan sampai sekarang, dari era orde lama hingga reformasi.

 

Pembahasan

-          Kebijakan Kependudukan pada Era/Masa Orde Lama

            Era/masa orde lama ada saat era kepemimpinan Presiden Soekarno yang dimulai pada periode 1945 hingga 1967 yang merupakan lahirnya negara Republik Indonesia, di mana kondisi saat itu adalah pasca perang. Pemerintahan yang berlangsung adalah pemerintahan Orde Lama. Seperti yang dikemukakan oleh Hull (2006) isu program KB saat itu masih belum dapat diterima oleh Soekarno, karena Indonesia sedang tumbuh dan membutuhkan banyak sumber daya manusia. Hal ini lebih disebabkan karena ketidakcocokan isu tersebut bagi pemerintah saat itu. Pada tahun 1950-an, secara luas masyarakat mengetahui bahwa pemerintah menolak hal-hal mengenai pengendalian penduduk. Pada era kepemimpinan Soekarno, terdapat kelompok swadaya masyarakat yang bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Meski demikian, Soekarno menentang isu program KB. PKBI berusaha aktif dalam kegiatan terkait dengan program KB pada tahun 1957. Melalui PKBI cikal bakal perkembangan program KB dimulai. Bentuk dari struktur organisasi PKBI adalah sentralisasi dan sampai saat ini masih aktif dalam mendukung program KB di Indonesia sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno sangat pro terhadap kelahiran, karena sumber daya manusia di era Presiden Soekarno sangat penting bagi kelanjutan pembangunan bangsa. Pada era ini, pengendalian kelahiran bukan menjadi hal yang dianggap penting sehingga kebijakannya bersifat pro-natalis dan isu tersebut dianggap mengikuti budaya Barat. Presiden Soekarno mempunyai pandangan bahwa perempuan yang mempunyai anak banyak menyimbolkan adanya suatu kekuatan, kecantikan, dan ketahanan (BKKBN, 2011). Pandangan perempuan yang berfungsi pada sektor produktif dan sektor reproduktif mengikuti masa kolonialisme. Presiden Soekarno mempunyai tujuan membangun masyarakat sosialis Indonesia, sehingga menginginkan kelahiran yang banyak pada perempuan, sebagai bagian dari ide politik yang fundamen (Boestam, dikutip dalam Udasmoro, 2004). Adanya jumlah kelahiran yang banyak dipercaya akan menjadikan pertahanan nasional semakin kuat. Di masa itu, Indonesia tidak mempunyai kebijakan mengenai program pembatasan kelahiran. Sebaliknya, pemerintah mendorong perempuan untuk melahirkan banyak anak (pro-natalis). Sumber daya manusia saat itu sangat dibutuhkan untuk membangun bangsa Indonesia. Namun sayangnya pemerintah luput untuk memperhatikan kesehatan reproduksi perempuan. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Anak termasuk tinggi, infrastruktur sektor kesehatan juga masih belum baik sehingga membuat angka kelahiran per ibu melahirkan di atas lima orang anak.

-          Kebijakan Kependudukan pada Era/Masa Orde Baru dengan Pasca Reformasi

            Peralihan pemerintahan dari masa Presiden Soekarno menuju masa Presiden Soeharto adalah tonggak sejarah penting dalam politik KB di Indonesia. Masa Presiden Soeharto memandang pendekatan berbeda dari era sebelumnya terhadap tubuh perempuan. Penelitian Hartoyo, Latifah, dan Mulyani (2011) mengemukakan bahwa perempuan mendominasi keikutsertaan program KB. Penelitian Sutinah (2017) menemukan bahwa penggunaan alat kontrasepsi paling banyak adalah perempuan/istri. Hal ini terkait dengan pandangan bahwa penggunaan alat kontrasepsi dianggap sebagai tanggung jawab perempuan/istri. Karena itu, peran perempuan dalam kesuksesan program KB sangat penting. Di era kepemimpinan Presiden Soeharto kesuksesan program KB telah dikenal di dunia (Cammack & Heaton, 2001). Di era Presiden Soeharto dalam menjalankan program KB dilaksanakan secara sentralisasi. Menurut Hull (2006) meskipun Presiden Soeharto melakukan koordinasi dengan Departemen Kesehatan, Pendidikan, Informasi, Agama, dan Departemen Dalam Negeri, dan berbagai organisasi kemasyarakatan yang terlibat dalam pengendalian penduduk, pada kenyataannya pemerintahan yang terjadi adalah sentralisasi/otoriter yaitu Presiden menerima laporan dan departemen mengikuti kebijakan dan arahan dari pusat.

            Perubahan kebijakan terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru. Pada masa ini kebijakan kependudukan cukup sukses karena KB dijadikan sebagai program nasional. Pemerintah cukup intensif menyelenggarakan program KB, yang salah satunya ditandai dengan berdirinya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional pada 1970. Dalam kampanyenya, pemerintah memberikan kontrasepsi gratis, serta menekankan nilai-nilai keluarga kecil dan KB sebagai upaya menciptakan kesejahteraan keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program KB di masa Orde Baru sarat dengan sentralisme dan tidak memperhatikan hak reproduksi individu dalam memilih alat kontrasepsi (Wiyono 2008). Program KB dapat berhasil dan sukses pada zaman Orba karena pada saat itu program KB di Indonesia sangat ketat sehingga menjadi salah satu program prioritas penting Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. Program KB wajib dilakukan oleh seluruh pejabat pemerintah, baik di pusat ataupun di daerah. Bila salah satu pejabat gagal menahan lonjakan penduduk di daerahnya, maka konsekuensinya adalah dilengserkan dari jabatannya. Hal terebut dapat membuktikan bahwa Presiden Soeharto mampu memberikan kotribusi dengan menahan 100 juta jiwa kelahiran penduduk baru.

            Pada tahun 1970, pemerintahan Orde Baru berupaya untuk menekan laju angka kelahiran dengan membentuk BKKBN guna mengajak masyarakat Indonesia untuk mengikuti program KB dimana jumlah anak dibatasi maksimal hanya 2 anak saja. Selama tahun 1970 hingga 1986, data statistik menyatakan bahwa jumlah peserta KB yang awalnya 0,3 juta jiwa meningkat menjadi 15,3 juta jiwa. Program KB dapat dikatakan sukses besar pada era Pak Harto dengan adanya proyeksi BKKBN yang memperkirakan menurunnya lonjakan jumlah penduduk di Indonesia. Dengan adanya proyeksi BKKBN tersebut, dapat dikatakan bahwa penekanan laju pertumbuhan penduduk pada jaman Orde Baru terjadi sangat ketat. Hal itu menjadikan program KB sukses besar di jamannya

            Di era Orde Baru, program KB sangat berjaya karena mendapat dukungan langsung dari Presiden Soeharto. Pada waktu itu, seluruh jajaran Departemen/Kementerian hingga Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah, serta TNI sangat berkomitmen dalam melaksanakan program keluarga berencana. Tak hanya dukungan dari dalam negeri, dukungan dana dari luar negeri dan Bank Dunia sangat besar. Selama masa itu, promosi program KB berhasil menggugah seluruh masyarakat hingga ke pelosok-pelosok Indonesia. Pada tahun 1970 hingga 1980, penyelenggaraan program KB Nasional dikenal dengan sebutan “Management for the People”. Pada periode ini, pemerintah lebih banyak berinisiatif dan partisipasi masyarakat sangat rendah. Pasalnya, program ini sangat berorientasi target dan implementasinya sehingga terkesan kurang demokratis dengan hadirnya TNI dan Polisi pada pelaksanaan kegiatan seperti KB massal. Seiring berjalannya waktu, implementasi program yang bersifat “top-down approach” ini berubah menjadi Gerakan Keluarga Berencana di tahun 1980-an. Pola kebijakan program KB Nasional berubah menjadi “Management with the People”. Unsur pemaksaan dikurangi dan masyarakat dibebaskan untuk memilih kontrasepsi yang ingin dipakainya. Program KB di era Orde Baru ini berhasil mencapai target nasional. Keberhasilannya juga diakui oleh dunia internasional dengan diperolehnya penghargaan United Nation (UN) Population Award oleh UNFPA pada tahun 1989.

-          Kebijakan Kependudukan pada Era/Masa Reformasi

            Kepemimpinan Presiden Soeharto digantikan wakil Presiden B.J. Habibie pada tahun 1998. Era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie dimulai dengan semangat reformasi disemua bidang. Kabinet kerja dinamakan kabinet reformasi, yang merupakan masa transisi fokus pembangunan sentralisasi ke desentralisasi. Perubahan program KB menyebabkan perombakan total struktur organisasi kelembagaan program KB yang sudah berhasil di era Presiden Soeharto. Keputusan dan arahan yang sebelumnya dipusatkan sentris di ibukota menjadi diberikan otonomi/desentralisasi kepada tiap daerah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing – masing daerah. Kala itu, pemerintah masih disibukkan dengan reformasi dan pergantian pemerintahan menuju desentralisasi, sehingga, program KB tidak terlalu menjadi perhatian. Walaupun demikian, seperti yang dikemukakan oleh Robinson (2009), usaha yang dilakukan oleh Presiden B.J. Habibie adalah meningkatkan kualitas pelayanan klinik sejalan dengan International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994. Slogan program KB dalam kepemimpinan Presiden B.J. Habibie adalah “Dua Anak Cukup, Laki-Laki/Perempuan Sama Saja”.

            Era Reformasi adalah kebalikan dari era Orde Baru dimana laju pertumbuhan penduduk sangat melonjak. Dengan meningkatnya proyeksi jumlah penduduk yang akan terjadi, slogan “Dua Anak Lebih Baik” tidak akan relevan lagi pelaksanaannya. Meskipun terdapat regulasi mengenai desentralisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana setiap urusan pemerintahan yang menyangkut daerah diserahkan kepada pemerintah daerah, slogan tersebut tetap tidak bisa dikatakan ampuh untuk digaungkan jika jumlah penduduk malah semakin meningkat. Ketika era Reformasi menggantikan Orde Baru, terjadi perubahan mendasar dalam kebijakan kependudukan. Melalui penerapan otonomi daerah, pelaksanaan program KB mengalami tantangan besar. Pemerintah daerah diberi kewenangan dan kebebasan untuk mengatur wilayahnya, termasuk pengelolaan program pengendalian penduduk. Implikasinya adalah keberhasilan pelaksanaan program KB sangat bergantung kepada komitmen pemerintah daerah, serta persepsi dan pemahaman pemerintah daerah mengenai manfaat KB bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan berkelanjutan. Padahal tidak semua daerah memprioritaskan program pengendalian penduduk yang selama ini telah dijalankan sehingga tren pemakaian alat kontrasepsi akan sangat fluktuatif dan bervariatif di tiap-tiap daerah (BKKBN, 2007).

-         Kebijakan Kependudukan pada Era/Masa Pasca Reformasi

            Era pasca reformasi, program Keluarga Berencana nasional merupakan salah satu program untuk meningkatkan kualitas penduduk, mutu sumber daya manusia, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan melalui pengaturan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, kesehatan dan kesejahteraan sosial dan keluarga. Hal ini berasal dari butir-butir Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 dan perundang-undangan. Sejak era reformasi berkibar dan otonomi daerah digelar, maka masalah Keluarga Berencana (KB) secara perlahan kurang mendapat porsi yang optimal dalam strata pemerintahan sebagaimana yang dilakukan penguasa Orde Baru. Ini berdampak dengan kebijakan yang menyertainya. Seperti badan keluarga berencana yang dulu berfungsi sebagai badan koordinasi dari Pusat sampai ke Kabupaten/Kota hingga “tangan-tangannya” yang bergerak dinamis di lapangan (PLKB-PKB) namun seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan. Komitmen penguasa di pasca reformasi sepertinya tidak menganggap penting masalah kependudukan terutama dalam pengendalian laju pertambahan penduduk. Ketika SP 2010 meleset dari prediksi, maka tersentaklah semuanya. Bahwa penduduk Indonesia sudah jauh dari yang diduga sehingga dengan data kependudukan yang salah duga ini, sedikit banyak berdampak pada bidang pembangunan yang lain. Misalnya dalam hal persediaan sarana dan prasarana rakyat. Karena faktanya penduduk jauh dari prediksi, maka tentu sarana dan prasarana yang direncanakan itupun akan tidak memadai dari kebutuhan. Misalnya jalan raya, perumahan, fasilitas transfortasi umum, dan lain sebagainya. Belum lagi ketersediaan pangan, sandang, dan lain-lain.

            Berdasarkan kenyataan dan akibat yang sudah terjadi tersebut, maka dilakukanlah berbagai perubahan dalam struktur tata kerja pemerintahan. Terutama yang terkait dengan penanganan KB dan pengendalian serta pencegahan laju pertumbuhan penduduk terus dilakukan. Hal ini diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan paradigma dan tindakan dalam melihat dan menyelesaikan persoalan kependudukan ini. Ini dikarenakan, ternyata masalah KB dan kependudukan adalah persoalan besar bangsa yang harus selalu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Menyangkut persoalan kependudukan, bukan hanya urusan orang BKKBN yang sejak terbitnya UU No.52/2009 berubah nama dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Namun menyangkut dan menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Ketika Indonesia menjadi Negara berpenduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat, maka tersentaklah kita semua. Penduduk besar tidak akan menjadi persoalan besar sekiranya beriringan dengan kualitas yang baik pula. Namun seperti kita tahu, bahwa komposisi penduduk kita di berbagai bidang masih jauh dari harapan. Dalam berbagai data statistik masih menunjukkan adanya ketimpangan. Seperti buta huruf yang belum kelar-kelar juga kita atasi. Kesehatan yang masih buruk dan menyimpan banyak masalah. Ekonomi nasional yang masih tergantung asing. Oleh karena itu perhatian dan aksi yang jelas serta nyata diperlukan dalam turut mengatasi masalah kependudukan dan KB yang harus melibatkan semua komponen anak bangsa ini. Agar perihal program KB dan kependudukan ini akan segera tuntas bila semua komponen anak bangsa ikut terlibat. Karena kependudukan sangat terkait dengan semua unsur kehidupan lainnya pula. Untuk itu diperlukan adanya gerakan bersama yang melibatkan semua komponen anak bangsa untuk ikut serta memberikan sumbangsihnya bagi persoalan bangsa yang sebenarnya tidak lain adalah juga persoalan dia sebagai rakyat dan pribadi.

 

 

 

 

 

Penutup

            Kebijakan penduduk berkaitan erat dengan dinamika kependudukan yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Bentuk dan macam kebijakan kependudukan adalah Transmigrasi, Program Keluarga Berencana, sehingga Kebijakan penduduk yang utama di Indonesia adalah Program Keluaraga Berencana. Adapun Kebijakan kependudukan Indonesia telah di atur dalam GBHN yang meliputi : Bidang-bidang pendendalian kelahiran; Penurunan tingkat kematian terutama kematian ana-anak, Perpanjangan harapan kerja, Penybaran penduduk yang lebih serasi dan seimbang, Pola urbanisasi yang lebih berimbang dan merata, Perkembangan dan penyebaran angkatan kerja. Sedangkan 7 sasaran transmigrasi terdiri atas : Peningkatan taraf hidup; Pembangunan daerah; Keseimbangan penyebaran penduduk; Pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; Pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; Kesatuan dan persatuan bangsa; Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Dalam hal Transmigrasi seolah penduduk setempat di rugikan, padahal seharusnya malah dapat manfaat. Hal-hal yang demikian ini harus di antisipasi, sehingga dapat di tekan dan ditiadakan sebelum muncul. Mengingat pentingnya masalah kependudukan maka perlu adanya Undang-Undang yang mengatur pokok-pokok mengenai kependudukan sebagai suatu sistem yang terpadu.

Comments